Melampaui Batas Diri, Perjalanan dan Refleksi dari Spanyol

1
404

(Oleh : P. Hendra Famaugu, Pr)

KITATIMES.COM – Hampir setiap hari, saya melewati pintu utama kampus dalam perjalanan menuju kelas bahasa Spanyol. Di pintu utama itu, para penjaga selalu ada, setiap melaksanakan tugasnya. Biasanya, saya dan beberapa teman menyapa mereka dengan ucapan selamat pagi atau selamat siang dalam bahasa Spanyol.

Menyapa bukan hanya karena itu hal yang baik, tetapi juga kesempatan bagi saya melatih kemampuan berbahasa Spanyol. Para penjaga pintu itu selalu membalas sapaan kami dengan senyuman ramah. Bahkan, kadang-kadang mereka lebih dahulu menyapa, seolah ingin memastikan bahwa setiap orang yang melewati pintu itu merasa diterima.

Suatu pagi, seperti biasa, saya menyapa salah satu penjaga pintu dengan ucapan “buenos días” (selamat pagi). Setelah menjawab sapaan saya, ia memanggil saya dan bertanya bagaimana cara mengucapkan “selamat pagi” dan “selamat siang” dalam bahasa Indonesia. Dengan senang hati, saya mengajarkannya. Namun, setelah itu, saya berjalan menuju kelas sambil diliputi rasa heran dan kagum.

BACA JUGA : Temu Relawan Kebencanaan Caritas Keuskupan Surabaya

Mengapa ia bertanya? Apakah ia hanya ingin berkomunikasi dengan saya saat itu? Apakah ia mengenal orang Indonesia? Ataukah mungkin ia ingin membuat saya merasa dihargai dengan menanyakan sesuatu tentang bahasa saya?Pertanyaan-pertanyaan ini terus menggema di benak saya.

Ketika kelas selesai dan saya kembali melewati pintu kampus pada siang hari, saya menyapa penjaga pintu itu lagi dengan ucapan “buenas tardes” (selamat siang). Namun kali ini, ia menjawab sapaan saya dengan “selamat siang” dalam bahasa Indonesia. Saat itu, saya baru memahami maksudnya bertanya kepada saya sebelumnya.

Pengucapannya belum sempurna, tetapi keberanian dan ketulusannya menyentuh hati saya. Ia berani mencoba meskipun tahu kesalahan mungkin terjadi. Ia mengajarkan saya bahwa kesalahan adalah bagian tak terpisahkan dari proses belajar. Kesalahan membuktikan bahwa kita berani mencoba.

Dalam setiap kegagalan, ada kesempatan untuk belajar lebih besar tentang diri kita dan dunia di sekitar kita. Dengan menerima kesalahan sebagai bagian dari perjalanan hidup, kita memberi diri kita harapan besar untuk berkembang, untuk berani melangkah lebih jauh tanpa takut terjatuh.

Saya tidak menertawakan kesalahannya dalam mengucapkan “selamat siang” atau “selamat pagi.” Menertawakan usaha seseorang bukanlah cara yang benar untuk mengajari. Memperbaiki kesalahan dengan kasih dan kesabaran adalah sikap yang lebih tepat. Saya memberinya senyuman dan dengan sabar mengoreksi pengucapannya.

Bagi saya, menghargai usaha seseorang adalah wujud nyata dari kasih dan penghormatan. Kesabaran menuntun kita menunjukkan belas kasih terhadap kelemahan manusiawi, menghargai perjuangan orang lain, dan menahan diri dari penghakiman. Kesabaran bukan hanya soal menunggu, tetapi juga tentang bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain selama proses tersebut.

BACA JUGA : Hasil Pilkada ke Mahkamah Konstitusi adalah Pedang Bermata Dua

Saya salut dengan perjuangannya untuk belajar sapaan dalam bahasa Indonesia. Ketika saya memberitahunya, ia menuliskannya di secarik kertas sambil mengucapkannya secara berulang-ulang di hadapan saya. Ia seolah ingin menunjukkan kepada saya sebuah sikap kesabaran dalam belajar bahasa. Dalam usahanya itu, saya melihat komitmen luar biasa untuk mengatasi keterbatasan diri. Seringkali, kita terjebak dalam zona nyaman, enggan melangkah keluar dari batas yang kita ketahui. Namun, penjaga pintu itu dengan sabar dan tekun menunjukkan bahwa kemajuan sejati tidak datang dari menghindari tantangan, tetapi dari keberanian untuk melampaui batas diri kita.

Untuk belajar, terutama ketika menghadapi hal baru, diperlukan keberanian untuk gagal, kesabaran untuk terus mencoba, dan kerendahan hati untuk menerima bahwa kita tidak sempurna.

Dalam konteks ini, melampaui batas diri menjadi sangat relevan. Penjaga pintu itu menunjukkan bahwa melampaui batas diri bukanlah soal pencapaian besar, tetapi soal keberanian untuk mengambil langkah kecil yang bermakna. Keberanian ini adalah bentuk transendensi nyata, di mana seseorang mengatasi keterbatasannya dan membuka diri untuk dunia yang lebih luas.

Dalam usahanya mempelajari sapaan sederhana dalam bahasa Indonesia, ia tidak hanya belajar kata-kata, tetapi juga menjalin hubungan yang lebih dalam, melampaui sekat-sekat budaya dan bahasa.

Thomas Aquinas pernah mengatakan bahwa kesabaran adalah kemampuan untuk bertahan menghadapi kesulitan tanpa kehilangan semangat. Dalam tindakannya, saya melihat cerminan kebajikan ini. Meskipun ia belum sempurna, ia tidak menyerah. Ia terus mencoba.

Penjaga pintu itu mengajarkan saya bahwa proses belajar bukan hanya tentang hasil akhir, tetapi tentang bagaimana kita menjalani proses itu dengan gigih dan penuh semangat.

Sejak saat itu, kami menjalin kebiasaan unik: ia menyapa saya dalam bahasa Indonesia, dan saya menjawab dalam bahasa Spanyol; sebaliknya, saya menyapanya dalam bahasa Spanyol, dan ia membalas dalam bahasa Indonesia. Dalam interaksi kecil ini, ada saling menerima, belajar, dan menghargai.

Saya teringat pada pemikiran Romano Guardini tentang pembentukan karakter manusia. Guardini menekankan bahwa pengalaman sehari-hari, termasuk interaksi sederhana seperti ini, adalah ladang subur bagi pembelajaran moral dan spiritual. Dalam sapaan singkat di pintu kampus itu, ada pelajaran besar tentang nilai-nilai moral seperti kesabaran, penghormatan, dan ketulusan.

Dalam salah satu tulisannya, Guardini menyebut bahwa tindakan kecil dalam keseharian kita bisa menjadi “momen formasi” yang membawa kita pada pemahaman lebih dalam tentang kehidupan. Sapaan sederhana dan sikap penjaga pintu itu menjadi saksi nyata dari gagasan tersebut.

Lebih dari itu, momen ini mengingatkan saya pada gagasan Karl Rahner tentang transendensi manusia. Rahner menjelaskan bahwa setiap usaha melampaui batas diri, sekecil apa pun, adalah tanda kerinduan manusia akan sesuatu yang lebih besar dan mulia. Dalam upaya penjaga pintu itu mempelajari sapaan sederhana dalam bahasa saya, saya melihat upaya melampaui sekat-sekat budaya dan bahasa demi menjalin hubungan lebih dalam. Ia, dengan caranya sendiri, menghidupkan kasih dalam tindakan sederhana.

Rahner juga mengajarkan bahwa dalam tindakan sehari-hari yang tampaknya biasa, tersimpan tanda kehadiran Allah yang bekerja dalam hati manusia.

Melalui interaksi ini, saya menyadari bahwa perjuangan kecil penjaga pintu itu adalah bagian dari perjalanan menuju yang Ilahi.

Interaksi ini juga menjadi pengingat bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga jembatan untuk saling memahami dan membangun relasi. Sapaan sederhana menjadi sarana melintasi perbedaan, memecahkan dinding keterasingan, dan menciptakan momen-momen yang memperkaya jiwa. Dalam tiap kata yang ia coba ucapkan, saya tidak hanya mendengar suara manusia yang berusaha, tetapi juga gema kasih yang melampaui sekat-sekat bahasa dan budaya.

Penjaga pintu itu mengajarkan saya bahwa belajar adalah sebuah perjalanan yang melibatkan kerendahan hati dan keberanian. Belajar bukan hanya soal menguasai pengetahuan atau keterampilan baru, tetapi juga tentang bagaimana kita membuka diri terhadap pengalaman yang mengubah kita. Belajar dalam pengertian yang lebih dalam adalah sebuah perjalanan batin yang mengharuskan kita untuk merendahkan hati, melepaskan ego, dan mengakui bahwa kita tidak tahu segalanya. Kerendahan hati membuat kita terbuka terhadap pembelajaran, dan keberanian memberi kita kekuatan untuk terus berjalan meskipun perjalanan itu penuh tantangan.

Akhirnya, saya menyadari bahwa belajar, baik itu bahasa atau pelajaran hidup, selalu melibatkan hubungan dengan orang lain. Dalam perjuangan penjaga pintu untuk mempelajari sapaan bahasa Indonesia, ia berbagi nilai keberanian untuk mencoba, kerendahan hati untuk menerima kesalahan, dan ketulusan untuk saling mendukung.

Penjaga pintu itu mengingatkan saya bahwa di balik setiap kata yang dipelajari, ada cerita. Di balik setiap cerita, ada manusia yang berusaha melampaui dirinya. Dalam dirinya, saya melihat diri saya sendiri, dan saya menemukan makna mendalam dari belajar bagaimana melampaui batas diri.

1 KOMENTAR

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here