DARI BUMI LANCANG KUNING KE TANAH MELAYU ASAHAN MENEBARKAN KASIH ALLAH

0
114

Oleh: Alb Irawan Dwiatmaja

Penyuluh Agama Katolik Kantor Kementerian Agama Kab. Asahan

KITATIMES.COM — Ku tidak pernah bercita-cita untuk mengabdi sebagai aparatur sipil negara karena keluarga kami tidak ada yang bekerja sebagai aparatur sipil negara. Dulu, aku bercita-cita ingin menjadi seorang imam Katolik (Pastor) tetapi dalam perjalanan waktu dan refleksi mendalam, aku diputuskan untuk tidak dapat lanjut. Sejak 2016, aku menerima keputusan tersebut dan menjalani status baru sebagai awam. Awalnya canggung tetapi semakin lama semakin terbiasa.

Pasir Pengarayan-Rokan Hulu

Aku lahir di sebuah desa yang kala itu cukup kecil dan tidak terlalu dikenal banyak orang. Kami menetap di Pasirpengarayan karena bapakku mendapat penugasan sebagai katekis. Aku berada di sini dari kecil hingga SMP dan setelahnya aku sekolah di berbagai daerah. Sebagaimana anak pada zamannya, aku juga mengalami banyak hal bersama teman-teman sebaya. Mayoritas penduduk Pasir Pengarayan beragama Islam dan suku Melayu sedangkan Katolik hanya sedikit. Lingkungan tempatku tinggal, masyarakatnya mayoritas orang Jawa perantauan sehingga kebiasaan-kebiasaan Jawa masih dilakukan. Teman sebayaku di sekitar rumah tidak ada yang Katolik sehingga aku berteman dengan siapa saja. Waktu itu, kami tidak pernah berpikir agama dalam berteman. Semuanya berjalan begitu saja secara alami. Kami berbaur begitu saja tanpa ada sekat dan batasan. Aku dengan bebas bermain ke rumah teman dan begitu sebaliknya. Kami merasa bahagia dan senang kala itu.

Apabila mengingat-ingat momen-momen saat kami bermain, ada hal-hal yang aku lakukan spontan begitu saja tanpa memikirkan dampak ke depannya. Namun, hal itu justru membuat kami berteman bukan karena ada sesuatu tetapi karena ketulusan. Aku masih ingat momen ketika puasa. Malam harinya, semua teman-teman pergi ke masjid untuk tarawih tetapi mereka tidak lupa mengajakku. Tanpa basa-basi, aku spontan ikut bahkan aku mengambil sarung dan ikut mereka pergi tarawih. Ketika mereka shalat, aku duduk di luar dan melihat mereka dari kejauhan (pos ronda) menunggu mereka keluar untuk bermain petak umpet. Ketika waktu ceramah, teman-temanku keluar dan kami bermain petak umpet sampai waktu tarawih selesai. Lagi-lagi, aku tidak pernah berpikir apa-apa kala itu karena yang kupikir adalah aku senang bisa bermain dengan teman-temanku. Pagi harinya, ketika shalat subuh, kami bersama-sama lagi pergi tetapi kami sedikit nakal karena mencari buah durian atau kuwini (mangga) yang jatuh dari pohon yang tidak bertuan.

Selain itu, kebiasaan kampung kami ketika acara-acara seperti sunatan, pernikahan, mendoakan orang yang sudah meninggal, kami masih melakukan rewang. Ketika satu keluarga mengadakan hajatan, satu kampung merasa yang memiliki hajatan. Mamakku dan ibu-bu Katolik lainnya berbaur dan saling membantu dengan yang lainnya. Saat itulah terjadi kontak sesama masyarakat. Aku melihatnya, mereka begitu akrab bercengkrama, saling mengejek, saling curhat, dan saling meneguhkan.

Ke Sibolga-Siantar-Yogyakarta

Usai menyelesaikan pendidikan SMP, aku mengenyam pendidikan di Sibolga. Aku tinggal di asrama tempat pembinaan calon imam Katolik. Situasi ini merupakan hal yang baru karena selain tempat, aku berteman dengan teman yang bukan lagi orang Jawa, Melayu, Minang tetapi dengan teman yang mayoritas suku Batak Toba dan Nias. Setelah dari Sibolga, aku melanjutkan Pendidikan ke Pematangsiantar dan Yogyakarta. Sejak di Sibolga hingga di Yogyakarta, aku berteman dengan banyak orang dengan berbagai macam latar belakang suku, budaya, dan agama yang berbeda-beda. Perjumpaan dengan banyak orang dan berbagai macam latar belakang tersebut memperkaya, mendewasakan, dan menjadikanku terbuka. Sepertinya, modal awal perjumpaan itu sudah didapat ketika kecil dan diperkuat lagi ketika merantau.

Sejak di Sibolga sampai ke Yogyakarta, aku digembleng dan dididik secara keras tentang iman Katolik. Aku belajar inti terdalam iman Katolik hingga jenjang magister (S-2 Filsafat Keilahian). Aku yang dulu tidak begitu banyak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang iman Katolik menjadi kaya ketika belajar selama 13 tahun di sekolah Katolik: SMA St. Fransiskus Aek Tolang Tapanuli Tengah (Seminari Menengah St. Petrus Sibolga), Fak. Filsafat Universitas Katolik St. Thomas Sumatera Utara (Seminari Tinggi St. Petrus Pematangsiantar), dan Magister Filsafat Keilahian Fak. Teologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (Fakultas Teologi Wedabhakti). Semua Pelajaran yang kuterima menggugahku untuk meyebarkan kasih Allah ke seluruh dunia melalui setiap tindakan dan pekerjaan.

Menebarkan Kasih Allah di Bumi Asahan

Juli 2019, aku memulai pekerjaan sebagai Penyuluh Agama Katolik Kantor Kementerian Agama Kab. Asahan. Dalam bahasa pemerintah, penyuluh merupakan orang yang diberi tugas untuk menyampaikan ajaran agama dan program pemerintah. Memakai bahasa Gereja Katolik, penyuluh itu sejajar bahkan sama dengan katekis, hanya saja penyuluh di bawah naungan Kementerian Agama sedangkan katekis di bawah naungan Gereja.

Alb Irawan Dwiatmaja

Pada umumnya, masyarakat Asahan memeluk agama Islam. Menurut data, masyarakat Asahan yang beragama Katolik 0,68%. Keberadaan mereka tersebar di 25 kecamatan yang terdapat di Kab. Asahan. Secara umum, umat Katolik Asahan adalah Batak Toba, Simalungun, Karo, dan beberapa suku lainnya. Di Kab. Asahan hanya ada satu paroki yaitu Gereja Katolik Paroki Sakramen Mahakudus Kisaran. Namun, beberapa daerah di Asahan dilayani dari Paroki Aek Kanopan Labuhanbatu Utara, Paroki Tanah Jawa Simalungun, dan Paroki Tanjungbalai.

Berada di tanah melayu bukan sesuatu yang baru bagiku. Hal baru bagiku di Asahan adalah aku harus melayani umat Katolik yang mayoritas orang Batak Toba, Simalungun, Karo, dll. Bagi mereka, kedatanganku dengan status Jawa Katolik merupakan sesuatu baru. Secara umum, umat Katolik Asahan berpikir bahwa semua orang Jawa itu beragama Islam. Dalam perjalanan waktu, aku bekerja sama dan bahkan terlibat aktif di Paroki Sakramen Mahakudus Kisaran dengan berbagai macam kegiatan seperti berkatekese ke stasi, wilayah, dan lingkungan. Dalam satu kegiatan, aku diminta untuk menjadi pemateri seputar iman Katolik. Di kegiatan lainnya, aku menjadi pemimpin ibadat di lingkungan. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan kepanitian seperti: Carmel Cup, Pesta Rayon, Perencanaan dan Pembangunan Gereja, aku banyak terlibat. Aku tidak mengalami kesulitan yang begitu signifikan ketika berkomunikasi dengan mereka karena aku sudah mempelajari bahasa Batak Toba ketika di Sibolga dan Pematangsiantar. Aku juga sangat paham tradisi yang terdapat dalam Toba. Pengalaman di Sibolga dan Pematangsiantar menjadi tempat pembelajaran pertamaku tentang Batak secara umum dan Batak Toba secara khusus.

Selain kegiatan yang bekerja sama dengan paroki, aku juga menjadi tenaga pengajar untuk siswa/i yang beragama Katolik di sekolah negeri yang tidak memiliki guru agama Katolik. Situasi ini sungguh memprihatinkan karena di beberapa tempat, ada begitu banyak siswa/i beragama Katolik di sekolah negeri yang belajar agama Kristen (Protestan). Padahal, Katolik dan Kristen merupakan dua entitas agama yang berbeda walaupun sepintas terlihat sama. Setiap Senin sampai Jumat, aku memberi mereka pengetahuan iman Katolik yang belum pernah didapatkan. Tempatku mengajar agama tidak dekat. Aku harus menempuh perjalanan sekitar 40 menit untuk sekolah yang satu dan sekitar 1 jam 45 menit untuk sekolah berikutnya. Aku tidak pernah meninggalkan tugasku sekalipun hujan dan jalan begitu becek. Sebagai ASN, aku belajar untuk tetap setia dengan tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Terkadang timbul candaan dari teman-teman penyuluh agama lainnya dan teman-teman kantor, “Selow aja bro. Jangan paksa kali”.

Berbaur dengan orang Melayu Asahan bukan sesuatu yang sulit. Ketika berada di tengah mereka, aku dapat mengikuti otomatis kebiasan yang ada. Acara-acara yang terjadi di masyarakat ketika ada yang meninggal, aku datang dan duduk sementara mereka tahlilan. Ketika teman kantor ingin naik haji, aqiqah, menikah, aku datang untuk ikut merasakan sukacita yang dialami.

Dalam pergaulan sehari-hari, aku tidak pernah memilih karena alasan agama bahkan mayoritas temanku beragama Islam. Dalam perbincangan, kami tidak pernah membahas tentang agama kalau pun ada, aku menjelaskannya sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Apakah ini hanya sekedar bercanda, salah seorang temanku di kantor menyatakan bahwa kehadiranku menjadi oase tentang iman Katolik yang selama ini belum ada di Kantor Kementerian Agama Kab. Asahan. Memang, aku tidak hanya ngomong saja tetapi aku menulis beberapa hal seputar iman Katolik baik di jurnal ilmiah maupun di media sosial/website. Bagi mereka, kehadiranku menjadi pembeda. Selain pengalaman masa kecil yang mempengaruhi, aku ingin menghadirkan wajah Katolik yang berbelas kasih dan terbuka pada siapa saja. Belas kasih dan keterbukaan akan menghadirkan dialog sehingga akan saling memahami dan menghilangkan kecurigaan.

Pelayananku di bumi Asahan masih panjang. Aku datang ke Asahan ini memang ditugaskan sebagai aparatur sipil negara tetapi aku tidak hanya bekerja untuk negara tetapi tetap melayani Gereja. Aku meneladani kata-kata bapakku ketika merantau ke Pasir Pengarayan, “Aku bekerja bukan saja untuk mencari makan tetapi untuk menebarkan kasih Allah”.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here